Senin, 22 Desember 2008

Cinta, Apa hakekatnya?

Jika dia adalah Rahmat, seharusnya membawa keindahan bagi semua. Namun sebenarnya memang itulah hakekatnya, Dan sebagian kita telah banyak memanipulasinya. Kita telah banyak melakukan propaganda tentangnya. Semua karena egoisme kita yang begitu besar. Egoisme yang sering membunuh hak orang lain. Egoisme yang kemudian meluluhlantakan kepedulian kita, bahkan terhadap orang yang kepadanya kita mengaku cinta. Jika demikian, sebenarnya apa yang kita harapkan sebagai reaksi dari mereka yang Anda cintai?. Apakah cinta yang sama dengan yang Anda miliki terhadapnya? Jika itu yang Anda harapkan maka sesungguhnya Anda SALAH BESAR, Anda justru menciptakan jurang api yang demikian besar yang semakin membuat dia enggan menghadapi Anda. Jika Anda atasan mungkin pegawai Anda akan lebih terpaksa untuk anda. Ini semata-mata karena hubungan profesionalitas selama tekanan masih dalam batas kewajaran. Tapi bukan tidak mungkin pegawai Anda justru berontak dan dengan tidak ragu untuk berhenti. Namun jika Anda sahabat, maka sahabat Anda akan pergi menjauhi Anda. Jangankan bicara, merasakan kehadiran Anda saja perasaannya akan gerah, secepatnya ingin berlalu dari tempat itu. Dan jika Anda Orang tua, maka anak Anda semakin menjadi dengan kebandelannya.

FAKTA, KEBIJAKAN selalu membawa KEBAJIKAN.

Anda harus percaya ini. Evaluasi diri, kontrol emosi dan kepekaan terhadap lingkungan dan objek menjadi faktor utama penentu kebijakan positif. Jika Anda seorang yang bijak, seharusnya Anda mampu mempelajari alam ini. Pelajarilah dengan cinta, bukan dengan keserakahan dan egoisme yang berlebihan. Kita harus mampu menjadi orang lain. Ingatlah!! tidak ada yang pernah benar-benar baik ketika itu dirajut diatas anarkisme dan rasa ketertindasan. Kita harus bijaksana dalam me-manage perasaan dan pikiran. Tidak ada pemaksaan baik nyata maupun tersamar. Karena sesamar apapun Anda memaksakan kemauan, objeknya adalah hati dimana perasaan ini berada. Dan perasaan yang tulus itu dapat membedakan mana intrik dan mana ketulusan Anda.

Lalu mengapa kita menyebutnya cinta jika itu tidak berlaku sama bagi yang lainnya? Mengapa Anda menyebutnya cinta jika objek yang anda tuju justru tidak bahagia karenanya? Lalu ketika Anda tega hendak merebut kebahagiaan itu apakah masih pantas anda meng-atasnamakan Cinta? Jika demikian cinta apa yang Anda tawarkan ini? Betapa Anda telah menganiaya diri sendiri dan orang lain.

Lalu ketika Anda menganiaya diri sendiri, pantaskah Anda berkata bahwa Anda sayang kepadanya? Bagaimana mungkin? Untuk diri sendiri saja Anda tidak mampu menyayanginya, apalagi hendak menyayangi orang lain!!

Jika ada yang mengatakan cinta itu buta, Sayalah orang yang menantang itu. Cinta itu Rahmat. Dengan cintalah justru kita bisa memahami segala sesuatu, memberi penerangan dan kedamaian bagi semua, bukan satu atau sebagian. Tapi keseluruhan..

Anda perlu mengkaji ini lebih lanjut.

  1. Anda Cinta Orang lain. Betul?
  2. Cinta anda kepada orang lain pasti karena Anda sayang padanya. Betul?
  3. Karena rasa sayang Anda itu, Andapun harus mampu membuatnya bahagia. Betul?
  4. Anda mengingikan sesuatu dari orang yang Anda cintai. Betul?
  5. Keinginan itu adalah untuk membuat Anda bahagia. Betul?
  6. Ketika keinginan itu harus merenggut kebahagian orang yang Anda cintai, apakah Anda tega?
  7. Ketika Anda tega melakukan itu, apakah Anda sadar bahwa Anda telah bertentangan dengan pernyataan nomor 2 diatas?
  8. Ketika Anda tidak perduli dengan pernyataan nomor 7, sadarkah Anda telah menganiaya diri Anda dan orang yang Anda cintai itu?
  9. Lalu ketika penganiayaan Anda itu berlangsung atas Anda dan dirinya bukankah ini telah melanggar pernyataan nomor 1 di atas?
  10. Simpulkan perasaan Anda... Benarkah Anda telah benar-benar menjadi pe-CINTA??, atau bahkan menjadi penjahat atas cinta itu sendiri?

Selasa, 21 Oktober 2008

Kebutuhan, apa yang menjadi kebutuhanmu. (Need vs Wish)


KEBUTUHAN.. VS. KEINGINAN
Tanpa kita sadari banyak hal yang telah kita putuskan, kita perbuat, kita jalani mungkin belum mengarah kepada apa yang sebenarnya kita butuhkan. Sejatinya manusia belum akan 100% dapat memilah-milah keinginan-keinginan itu sepanjang manusia masih terpasung oleh ambisi dan egoisme diri. Pikiran-pikiran itu masih didominasi oleh apa yang menjadi keinginan kita. Faktanya, ketika keinginan itu kita capai justru sebagian besar dari kita belum juga puas atas hasilnya, bahwa ambisi itu masih saja terus mengajak kita meningkatan imajinasi kita kepada visi yang lain, yang terus bertambah dan pasti tak pernah terhenti.
Pernah suatu ketika teman saya dengan ringan mengatakan sesuatu hal yang mungkin bagi kita bukanlah topik yang harus dibahas. Kebetulan saat itu kami sedang ngobrol ringan ditepian jalan gang depan tempat kami tinggal. Apa yang diungkapkan teman saya, dia bilang “alangkah senangnya ayam itu”. Ini sebuah ungkapan yang aneh. Bukankah setiap orang menginginkan sesuatu yang lebih baik dari apa yang dimilikinya. Keinginan untuk mencapai status yang lebih baik adalah fitrah manusia pada umumnya. Ada petani yang bercita-cita ingin menjadi usahawan terkenal, ada anak SD bercita-cita menjadi profesor, anak muda ingin menjadi artis terkenal, semua ini kita anggap sebagai visi yang positif baik bagi lingkungannya juga bagi si “dreamer” itu sendiri. Betapa tidak, karena keinginan itu menuju kepada status yang lebih baik dari sebelumnya baik bagi lingkungan maupun dreamer-nya. Namun berbeda kasusnya dengan seorang pencopet yang bercita-cita menjadi pembobol bank profesional. Kita akan beramai-ramai menuding bahwa ini adalah visi yang negatif, kenapa?. Sebab kita akan terkena dampak yang buruk jika ini sampai terealisir. Namun bagaimana bagi dreamer-nya, apakah ini juga merupakan visi yang negatif baginya?. Saya rasa kita sependapat bahwa ini merupakan visi positif baginya, sebab kejahatan baginya adalah kebaikan. Jadi ketika dia menginginkan kejahatan yang lebih besar tentu itu merupakan hal yang positif baginya. Betul tidak?
Baiklah saya tau Anda mulai bosan dengan topik ini, jadi saya tidak akan berputar-putar terus pada persoalan positif dan negatif tadi (lha baru sadar.. ini bukan pelajaran fisika Om  ..). Oke terima kasih Anda masih mau melanjutkan membaca tulisan ini. Lalu apa hubungannya dengan ayam?? Apakah visi teman saya tadi, positifkah atau negatif? Jika itu positif, bagi siapa? Negatif juga bagi siapa? Atau justru bukan kedua-duanya?. Silahkan Anda analisa lebih lanjut, namun saya akan meluruskan topik ini agar tidak menyimpang dari judulnya.
“alangkah senangnya ayam itu” dia hidup tanpa beban, tapi bukan berarti semaunya. Anda mengerti maksud saya kan?? Ok, saya yakin anda pasti mengerti. Ayam dapat hidup tanpa beban walaupun bukan semaunya dia. Ayam hidup tidak dibebani dengan persoalan manusia. Dia makan seadanya, hidupnya mengalir terus tanpa persoalan yang membebaninya sampai darahnya mengalir dari lehernya (disembelih Om.. alias ko’id ). Inilah yang melandasi celetukan teman saya tadi itu. Mungkin juga karena hidup kami sebagai anak kos.., bayangkan Anda hidup ditengah kota. Segala pemandangan glamour ibukota ada disini. Praktis pesona itu yang menghinggapi dia dan justru menjatuhkannya dalam pesimisme hidup tingkat tinggi. Disisi lain saya bersyukur sebab walaupun demikian tidak lantas menjatuhkannya dalam visi negatif/positif meskipun pada akhirnya dia menjadi agak aneh. Bahkan lebih parah lagi, lingkungan menganggapnya orang tidak waras, karena mungkin sayalah satu2nya orang yang masih mampu berkommunikasi baik dengannya (waduh jangan-jangan saya juga sudah gila yah?? ) insya Allah saya masih waras kok. Alhamdulillah.. Okehh.. kembali ke laptop yahh..
Mengapa hal ini terjadi pada teman saya?, kita harus kembali pada konsep pemikiran praktis. Praktis bukan berarti mengenyampingkan kepentingan orang lain (egoisme yang merugikan lingkungan). Bukan pula membunuh semua harapan yang kita punya seperti apa yang terjadi pada teman saya tadi. Manajemen kebutuhan memegang peran penting disini. Sumberdaya, waktu dan kemampuan adalah prajurit kita dalam memperjuangkan hidup ini, dimana akal menjadi komandanya dan rasa menjadi penasehatnya atau sebaliknya rasa adalah komandan dan akal adalah penasehatnya tergantung pihak mana yang menjadi sensor pertama kalinya. Lalu untuk negara mana kita berjuang? Kita berperang untuk negara “kebahagian sejati” yang wilayahnya terdiri atas 2 negara bagian yaitu Dunia dan Akhirat. Akal tidak bisa berjalan sendiri, jika itu terjadi maka egoisme telah menghinggapi kita, arogansi dan kejahatan menjadi pengikutnya. Demikian pula rasa jangan diperkenankan jalan tanpa pertimbangan logik dari akal kita. Mereka harus berjalan berdampingan sebagaimana kita memperlakukan istri dan suami kita.
Manajemen penting bagi penentuan prioritas, pengambilan keputusan dan pemanfaatan sumber daya yang kita miliki. Prioritas akan menuntun kita kepada klasifikasi mana yang kebutuhan dan mana keinginan. Jelas keduanya berbeda dan salah satu tidak mutlak menjadi bagian dari sebagian yang lainnya, tapi bisa jadi bersamaan. Ini pertama kali yang harus kita identifikasi. Indentifikasi yang jujur akan mampu menyaring kebutuhan mana yang harus kita penuhi, dan bukan keinginan yang mubajir.
Bagaimana kita dapat memilah-milah kebutuhan dan keinginan?. Kita harus mampu mengenali karakteristik keduanya. Sebuah kebutuhan mempunyai karekteristik yang mutlak harus ada tidak bisa ditawar-tawar. Sedangkan keinginan adalah pilihan. Jika kesejahteraan yang akan kita jadikan ukuran maka pemenuhan kebutuhanlah yang menjadi tolak ukur kesejahteraan itu. Dengan kata lain kesejahteraan tercapai jika semua kebutuhan sudah terpenuhi. Keinginan bukan menjadi penentu kesejahteraan. Kesejahteraan tidak akan berkurang jika keinginan tidak terpenuhi, dia hanya melengkapi kepuasan. Contoh lain Kebutuhan kita adalah makan, minum, tidur, sex dll. Sedangkan keinginan berada pada level berikutnya. Kita butuh makan untuk menghilangkan lapar, bukan untuk membuat kita kenyang. Kenyang itulah keinginan kita. Asal kita makan kita tidak lagi lapar. Kita mau makan nasi, makan bakso, makan hati (eh salah ya.. ngg maksud saya makan hati ayam) itu adalah keinginan kita. Keinginan untuk memenuhi kepuasan kita.
Disnilah peran akal sangat dibutuhkan. Lalu bagaimana peran rasa mendampingi akal saat itu?. Rasa yang adil seharusnya mampu mempertimbangkan kepentingan dan hak asasi orang lain. Rasa yang adil hendaknya mampu mengontrol ambisi jangan sampai merugikan orang lain. Ibarat sebuah negara kebutuhan orang lain layaknya negara tetangga yang harus kita hormati keberadaanya. Bukankah kemerdekaan adalah hak segala bangsa? (hehe.. UUD 45 kali Om..) Jadi, hormatilah kepentingan orang lain sebagaimana anda ingin dihormati orang lain. KEPENTINGAN ORANG LAIN HENDAKNYA MENJADI PRIORITAS UTAMA UNTUK TIDAK KITA LANGGAR. Keselarasan Akal dan Rasa senantiasa melahirkan pribadi yang bijakasana.
Akhirnya, saya mau menyarankan Jujur dan Adil-lah pada nurani kita. Bersikap jeli dalam memilah mana kebutuhan dan mana kepentingan Anda. Gunakanlah akal dan rasa secara berimbang, pasti anda tidak akan merugi. Anda tidak akan rugi karenanya. Percayalah, justru Anda akan memiliki pribadi yang bijaksana, insya Allah. Lebih akhir lagi (hehe.) saya sangat terbuka atas kritikan anda, silahkan tinggalkan comment Anda disini. Terima kasih.

Senin, 20 Oktober 2008

Polisi Lalu Lintas.. Butuhkah kita???


POLANTAS, sebaiknya diganti POLANTAH = Polisi Lalu Lintah. Adalah polisi yang berkepribadian Lintah, Mengisap darah. Tapi sehaus-hausnya lintah tidak akan menghisap darah saudaranya sesama lintah. What??!! artinya untuk disamakan dengan Lintahpun Polantas masih lebih bermartabat si Lintah. masya Allah..

Setiap kali melihat mereka dijalan raya. menyetop kenderaan kita sambil berlagak bak seorang yang sopan dan profesional, mengangkat tangan sebagai tanda penghormatan bagi calon mangsa. Dengan trik ini kita diajak kompromi dengan mindset yang mereka punya, bahwa kita cukup mudah untuk diperbodoh.
Sempat saya berpikir "semiskin itukah polisi kita??" miskin uang juga hati. gak peduli petani pun dimangsanya. apakah benar gaji mereka dibawah minimum?? ternyata tidak. untuk pangkat terendah lulusan SMA saja mereka digaji berkisar 2juta/bulan. bandingkan dengan para mangsa mereka, petani yang seharian bekerja disawah yang mungkin bukan sawahnya sendiri, bekerja diteriknya matahari bermandi lumpur untuk menghidupi keluarganya yang mungkin anaknya banyak, harus menunggu hasil panennya setelah 3 bulan itupun masih diliputi cemas akankah panennya sukses atau setidaknya tidak diserang hama.
Polisi Si Raja Tega.
Inikah Polisi yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat? Inikah Polisi yang seharusnya menjaga Hukum tetap tegak adanya?. Ternyata itu isapan jempol belaka, Polisi menjadi inversi dari semua misi yang seharusnya mereka jalankan. Merekalah yang menjual hukum, mereka jugalah yang menganiaya rakyat. Merekalah yang memberimakan perutnya sendiri dengan keringat saudaranya. Korupsi yang terang2an dan pembelokan hukum sekena hatinya sendiri.
Berubahlah Polisi, Sadarlah kalian.. atau kalian akan selalu makan sumpah serapah kami di jalan raya, dimanapun kalian berhasil menjadikan kami mangsamu yang empuk karena tipu dayamu.